1 MAOS TEKS DESKRIPSI BUSANA JAWI. bathik utawa lurik. Blangkon sejatiné wujud modhèrn lan praktis saka iket. Ing busana. uwes mulai ilang seka pikiran masyarakat. Blangkon seng uwes suwe dadi budaya warga jawa. iki, mulai kegiles karo topi-topi seng dadi trend ing kalangan muda-mudi. mondholan (trèpès). Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Bagi orang Jawa, makna blangkon bukan sekedar sebagai penutup kepala. Blangkon memiliki filosofi, sekaligus merupakan simbol status bagi Kata dan Makna BlangkonIstilah blangkon berasal dari kata blangko’, dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang siap pakai. Sebab awalnya penutup kepala ini memang tidak bisa langsung dipakai begitu saja. Melainkan diikat melalui proses pembuatan simpul yang cukup rumit. Maka dari itu diciptakanlah blangkon, penutup kepala yang siap pakai. Masing-masing daerah memiliki blangkon dengan ciri khas yang berbeda. Tekstur dan motif blangkon gaya Yogyakarta, misalnya, berbeda dari blangkon Jawa Tengah, Solo, ataupun Jawa blangkon Solo dan Jogja, ada perbedaan ciri fisik sekaligus filosofi yang cukup Bentuk dan Makna Blangkon Yogyakarta Blangkon Jogja Blangkon gaya Jogja memiliki mondolan di bagian belakang. Pasalnya, jaman dulu para kaum Adam Jogja cenderung memanjangkan rambut. Sehingga ketika diikat, rambut panjang perlu digelung ke atas dan dibungkus ikatan kain. Kemudian berkembanglah menjadi blangkon yang juga erat kaitannya dengan filosofi orang Jawa yang diharapkan pandai menyimpan rahasia. Tidak mudah membuka aib, baik aib diri sendiri maupun orang lain. Halus dalam berbicara dan bertingkah laku lembut serta berhati-hati sebagai wujud keluhuran budi pekerti. Orang yang bijak akan mampu tersenyum dan tertawa meskipun hatinya menangis. Ia hanya memikirkan bagaimana berbuat baik terhadap sesama, meski diri sendiri menjadi Bentuk dan Makna Blangkon Solo Blangkon Solo Dikarenakan pengaruh Belanda, masyarakat Solo lebih dulu mengenal cukur rambut. Bahkan mengenal jas bernama beskap, yang asal katanya sendiri adalah beschaafd berkebudayaan/ civilized.Blangkon gaya Surakarta tidak memiliki tonjolan di bagian belakang. Melainkan terjalin dengan mengikatkan dua pucuk helai kain di bagian kanan dan kiri. Makna blangkon dalam hal ini adalah sebagai simbol pertemuan antara jagad alit mikrokosmos dengan jagad gedhe makrokosmos. 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya Blangkon( Jawa: ꦧ꧀ꦭꦁꦏꦺꦴꦤ꧀) adalah penutup atau ikat kepala lelaki dalam tradisi busana adat Jawa. Umumnya, terbuat dari jalinan kain polos atau bermotif hias (batik). Kain tersebut dilipat, dililit, dan dijahit sehingga berbentuk mirip topi yang dapat dikenakan langsung. Blangkon iku sajinis panutup sirah kanggo wong priyo sing sejatiné wujud modhèrn lan praktis soko iket. Iket digawe soko kain batik sing rodho dowo banjur dililitake miturut cara-cara lilitan tinentu neng sirah. Lilitan kain iku kudhu isa nutup kabeh sirah ndhuwur kuping. Ya, blankon adalah salah satu bagian dari pakaian adat khas Jawa yang digunakan untuk penutup kepala bagi pria sebagai pelindung dari sengatan matahari atau udara dingin. Awalnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar, berukuran kurang lebih 105 cm x 105 cm. Kain yang kemudian dilipat dua menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dengan cara dan aturan tertentu. Mengenakan iket dengan segala aturannya ternyata tidak mudah dan memakan waktu, maka timbullah gagasan seiring dengan kemajuan pemikiran orang dan seni untuk membuat penutup kepala yang lebih praktis, yang kemudian kita kenal dengan nama blangkon. Tidak ada catatan sejarah yang pasti akan asal muasal orang Jawa memakai iket sebagai penutup kepala. Iket telah tersebut dalam legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa, sekitar 20 abad yang lalu dimana Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan menggelar kain penutup kepala yang kemudian dapat menutupi seluruh tanah Jawa. Selain itu, ada cerita-cerita bahwa iket adalah pengaruh budaya Hindu dan Islam. Para pedagang dari Gujarat yang keturunan Arab selalu mengenakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala, yang kemudian menginspirasi orang Jawa memakai ikat kepala seperti mereka. Cerita lain mengatakan, di satu waktu akibat peperangan kain menjadi barang yang sulit didapat sehingga petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang lebih efisien yaitu blangkon. Seorang ahli kebudayaan bernama Becker yang meneliti tata cara pembuatan blangkon mengatakan, “That an object is useful, that it required virtuoso skill to make – neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generate from within their own tradition a feeling for beauty and with it appropriete aesthetic standards and common of taste”. Pada jaman dahulu, blankon memang hanya dibuat oleh para seniman yang ahli dengan pakem aturan tentang iket. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Bagi orang Jawa, kepala, rambut dan wajah adalah mahkota, bagian yang terpenting dan terhormat dari tubuh manusia, yang harus selalu dilindungi dan diperhatikan. Kebanyakan orang Jawa dahulu memanjangkan rambutnya tapi tidak membiarkannya tergerai acak-acakan. Rambut biasanya digelung atau diikat dengan ikatan kain, yang saat ujung ikatan kain tersebut diikat dibelakang kepala bermakna filosofis berupa peringatan untuk mampu mengendalikan diri. Pria Jawa jaman dahulu hanya membiarkan rambutnya tergerai hanya saat berada di rumah atau dalam sebuah konflik, misal perang atau berkelahi. Membuka ujung ikatan kain di belakang kepala atau membuka tutup kepala yang berakibat tergerainya rambut adalah bentuk terakhir luapan emosi yang tak tertahan. Jadi iket atau blangkon adalah perwujudan pengendalian diri. Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa, blankon dikaitkan dengan nilai transedental. Di bagian belakang blangkon pasti ada 2 ujung kain yang terikat, yang satu ujung kain merupakan simbol dari syahadat Tauhid dan satu ujung lain adalah syahadat Rasul dan terikat menjadi satu bermakna menjadi syahadatain. Setelah terikat, kemudian dipakai di kepala, di bagian yang bagi orang Jawa adalah bagian terhormat, artinya syahadat harus ditempatkan paling atas. Pemikiran apapun yang keluar dari kepala harus dilingkupi oleh sendi-sendi Islam. Pada perkembangannya kemudian, blangkon yang awalnya menjadi pelindung kepala yang mempunyai nilai filosofis tinggi kemudian menjadi sebuah simbol atau identitas kelompok serta status sosial dari masyarakat penggunanya. Hal ini ditandai dengan adanya wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, corak dan ragam hiasnya. Tetapi apapun itu, sebagai orang Jawa tulen, bila anda tidak mampu mengendalikan emosi dan nafsu maka anda tidak berhak mengenakan iket blangkon di kepala !! Secara umum, ada dua jenis blangkon, yaitu yang mempunyai mondolan tonjolan dan yang trepes rata. Pada awal iket dipergunakan sebagai tutup kepala, banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga harus digelung terlebih dahulu sebelum ditutup dengan iket. Gelung rambut ini lah yang kemudian mondol, menonjol, dan disembunyikan dibawah iket. Rambut dalam nilai filosofi orang Jawa yang sudah disebutkan diatas adalah representasi perasaan. Rambut dibawah iket adalah perasaan yang disembunyikan, yang harus dijaga rapat-rapat, menjaga perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang lain. Sebagai bagian dari taktik devide et impera, VOC menengahi dan memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram. Setelah ditandatanganinya perjanjian Gianti 1755 Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat di kedua daerah ini kemudian tumbuh dengan caranya sendiri-sendiri. Salah satunya adalah pria Jogya masih berambut panjang dan menggelung rambutnya, sementara pria Surakarta karena lebih dekat dengan orang-orang Belanda terlebih dahulu mengenal cara bercukur. Walaupun kemudian orang mulai banyak berambut pendek dan menggunakan blangkon tidak lagi iket, untuk sebuah pembedaan maka dibuatlah mondholan yang dijahit langsung pada blangkon dari Jogya. Itu mengapa blankon dengan mondolan dapat ditemukan di Jogya, sementara yang trepes ditemukan di Solo. Sebenarnya ada banyak varian dari blangkon, yaitu 1. Kejawen meliputi daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, Malang, dapat dibedakan lagi sekurang-kurangnya dua gaya, yakni Solo dan Yogyakarta. a. Gaya Solo, dapat dibedakan lagi dengan gaya utama dan selatan. b. Gaya Yogya, dapat dibedakan jenis lagi menurut wironnya, yakni mataraman dan iket krepyak. 2. Pasundan. Tidak selalu diartikan secara geografis, misalnya Banten dan Cirebon masuk kelompok pesisiran. Blangkon atau bendo Pasundan banyak persamaannya dengan gaya Solo, namun dapat dibedakan melalui beberapa bentuk seperti barangbangsemplak, Sumedangan, Wirahnasari dan lain-lain. 3. Pesisiran. Adalah daerah-daerah yang berlokasi di pantai utara Pulau Jawa dimana corak budayanya berbeda penerapan motif batik dengan daerah pedalaman. 4. Lain-lain. Di samping yang tidak disebutkan diatas masih terdapat corak atau gaya lain di Pulau Jawa seperti layaran Jawa Timur, dari Bangkalan, tengkulak Banten, Cirebon, Demak dipakai oleh santri dan lain-lain. Jadi blangkon adalah sebuah representasi diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan dan berseni ditandai dengan wiru halus dari sebuah pengendalian diri yang kuat ikatan dua ujung kain di bagian belakang, pengendalian diri yang juga berbasis atas hubungan manusia dengan Sang Pencipta. 1 Blangkon Sala, saka bahan bathik ora nganggo mondholan (trèpès). 2. Blangkon Yogya, nganggo mondholan. 3. Blangkon Kedhu. 4. Blangkon Banyumas. 5. Blangkon Sundha, saka bahan bathik, ora nganggo mondholan. Mondholan, iku wangun sing njendhol ing samburiné blangkon, makili modhèl rambut priya sing kerep dibundhel ing mburi.
Blangkon Surakarta Surakarta yang biasa di sapaan ii kabupaten solo ialah kota terbesar ketiga di pulau Jawa bagian selatan sehabis Bandung dan Malang menurut jumlah penduduk. Sisi timur ii kabupaten ini dilewati sungai nan terabadikan dalam pelecok satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Surakarta yaitu pewaris Kesultanan Mataram yang dipecah melangkahi Perjanjian Giyanti, puas tahun 1755. Dari Perjanjian Giyanti tersebut, mengakibatkan Kasultanan Mataram dibagi mejadi dua pemerintahan maupun wilayah kekuasaan. Yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Jika berbicara akan halnya Daerah tingkat Surakarta, terbayang jelas karakter dari masyarakat nan subtil dan baik hati. Selain itu situasi yang paling kecil erat kaitanya dengan Daerah tingkat Solo adalah tamadun. Apabila kita telisik lebih mendalam mengenai peradaban Kota Istimewa, ada pelecok satu cirikhas unik nan masih eksis sebatas ketika ini, adalah blangkon. Lembaga mondolan trepes adalah salah satu ciri dari blangkon Surakarta. Blangkon adalah salah suatu bagian dari pakaian adat distingtif Jawa yang digunakan bagi penutup kepala buat pria misal pelindung dari sengatan matahari atau udara dingin. Awalnya blangkon terbuat dari reja iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar, bertakaran kurang lebih 105 cm x 105 cm. Kain yang kemudian dilipat dua menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dengan cara dan aturan tertentu. Mengenakan iket dengan segala apa aturannya ternyata tidak mudah dan memerlukan hari, maka timbullah gagasan seiring dengan kesuksesan pemikiran orang dan seni kerjakan membuat penutup kepala nan kian praktis, nan kemudian dikenal dengan logo blangkon. Sebelum menjadi blangkon, kain dipakai dengan mandu jingkengan. Blangkon merupakan barang jadi dari iket nan diwiru. Lampau dibulatkan dengan cetakan yang namanya klebut. Kaidah menggunakan blangkon harus diukur lingkung penasihat di atas alis dan kurung di kedua telinganya. Blangkon Spesial dikenal tiba Pakubowono III, setelah terjadinya Perjanjian Giyanti. Sebelum itu blangkon Solo seperti punya bagan seperti mana blangkon Jogja. Pasca- perjanjian Giyanti, ada rotasi kebudayaan lautan yang menyebabkan Pakubuwono III membuat beragam blangkon. Jika Jogja hanya memiliki 1 model blangkon, Tersendiri punya 6 arketipe blangkon. Kerelaan blangkon bagaikan hasil budaya Jawa senyatanya tidak sekedar sebagai apendiks berpakaian sahaja namun memiliki makna yang privat. Blangkon memiliki berbagai motif kain batik, seperti motif gurda, kawung, truntum, wahyu tumurun, sido mukti dan sebagainya. Beragamnya motif blangkon sesuai dengan beragamnya motif kejai batik tradisional di Jawa. Setiap motif memiliki makna dan aturan tertentu dalam pemakaianya. Bilang keberagaman perca menggambar sebagai bahan baku bikin membuat blangkon. Bilang motif blangkon Solo antara lain; motif solo muda maupun motif keprabon, motif kasatrian, motif perbawan, motif dines , motif tempen. Motif tempen digunakan untuk abdi dalem yang diutus ke Loji atau ke maktab karisidenan atau kantor Belanda pada zaman dahulu. Model ini memakai sunduk tunggang-tungging berpunca penyu atau tanduk mahesa. Kemudia suka-suka juga motif wulung kemolo, cacaran moncip ompak, dan yang tertinggi adalah motif modang. Motif modang menggambarkan takhta seseorang. Tulangtulangan stilasi lidah jago merah atau blencong mempunyai arti seseorang sudah memiliki arti pikir/nalar. Banyak spesies modang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh modang cangkul yang digunakan ketika masuk ke kraton dan modang stoppres yang digunakan kalau di luar kraton. Pemakaian blangkon disesuaikan menurut adatnya, ibarat blangkon bermotif byur dipakai khusus dengan kain panjangnya/perca jaritannya. Motif wahyu temurun mudahmudahan juga mengaryakan kain jarit wahyu temurun. Orang dapat memakai blangkon modang motif ompak jika merasa sesorang tersebut belum punya “ilmu” nan memadai. Tingkatan di bawahnya terserah tipe wulung kemodo hanya pinggirnya saja. Jika seseorang menganggap dirinya enggak mampu maka blangkon nan dikenakan yakni jenis blangkon wulung. Jika berbicara mengenai blangkon, maka umumnya makhluk akan menyebut blangkon gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Adapaun perbedaan antara blangkon Yogyakarta dengan blangkon Partikular secara jasmani terletak pada mondolan di belakang blangkon. Dahulu orang Jawa tidak mengenal pangkas bulu baik junjungan-junjungan maupun cewek rambutnya digelung lebih-lebih adv amat baru kemudian ditutup iket bagi janjang rio andap/rio ke bawah. Doang jika rio ke atas memakai iket blangkon dengan cunduk jugkat kadal menek. Ada sekali lagi diversifikasi adu muncung yang biasanya hanya digunakan orang yang dapat memerintah atau mempunyai jabatan. Puas intinya terdapat beberapa putaran yang tentunya n kepunyaan makna yang benar-benar dan rapat persaudaraan hubunganya dengan diri makhluk. Blangkon terdiri berpangkal beberapa bagian, seperti bagian dalam yang disebut congkeng. Lalu di bagian depan disebut wiron yang jumlanya wironya dibuat gangsal. Apabila basyar berwajah elips biasa pakai wiron berjumlah 11, tapi nan berwajah buntak biasanya memakai kili yang jumlahnya 9. Penggalan lainnya adalah waton, tutupan, tampingan, jebeh, kantong mondol, dan tusuk konde jungkat. Di Kota Surakarta terwalak sebuah kampung yang disebut sebagai kampung blangkon, ialah Kampung Potrojayan yang merupakan negeri Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan Daerah tingkat Surakarta. Pembuatan blangkon di kampung ini dipelopori maka dari itu Mbah Joyo seputar hari 70-an nan sebatas waktu ini sudah lalu diteruskan oleh generasi ke-tiga, nan bernama Bapak Wardoyo dan ibu Rusmiyati. Kerelaan pengrajin blangkon di Kampung Potrojayan tidak lepas dari jasa Mbah Joyo. Karena, pengrajin blangkon yang ada sekarang merupakan “petatar” yang pernah bekerja di tempat Mbah Joyo. Proses pembuatan blangkon Pembuatan blangkon melalui berbagai proses, antara lain penyortiran objek motif kain, pengukuran, dan teladan. Bahan kain bakal pembuatan blangkon merupakan perca bermotif menggambar. Setelah ditentukan motif maka pembuatan disesuaikan dengan dimensi sang pemakai. Agar prinsip pemakaiannya praktis maka pembuatannya diatur sedemikian rupa dengan penguat dan pengeras sehingga ketika dilepas tidak terderai. Proses tersebut selesai kurang berpokok 30 menit dan harus dijemur di bawah kilat rawi yang sulit selama 3-4 jam. Proses ragil adalah dijahit agar lebih langgeng. Alat-alat yang digunakan antara lain tang, pencucuk, sepit, congkeng. Sedangkan sasaran yang dibutuhkan berupa jarit, karton, dan lem. Masa ini blangkon mengalami perkembangan dalam peristiwa kreasi corak dan lain hanya digunakan sebagai pakaian adat, melainkan sekali lagi digunakan bak souvenir. Takdirnya sangat digunakan harus sesuai kursi atau pakemnya, saat ini blangkon bisa digunakan oleh siapapun dari lingkaran manapun serta tidak terbujuk dalam acara acara tertentu. Seiring berkembangnya produksi blangkon di Surakarta yang semakin pesat, menerimakan dampak positif kerjakan pengrajin blangkon dari segi perekonomianya. Lega intinya blangkon adalah sebuah representasi diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan dan berseni dari sebuah pengendalian diri nan kuat serta pengendalian diri yang pun berbasis atas kombinasi insan dengan Si Pembuat. Video teaser Blangkon Surakarta Penderma Subiyantoro
Padazaman dahulu banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga banyak yang digelung ke belakang menyatu dengan ikat kepala sehingga pada blangkon Jogja ada mondolan atau tonjolan di belakang tempat gelungan rambut. Nama Nyutra berasal kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti 1) 'unggul', 2) lulungidan JawiJangkep, Pakaian Adat Deskripsi Pakaian Adat Jawa Dalam Bahasa Jawa Read More » Lewati ke konten. Pertanyaan yang sering diajukan; Main Menu. Pertanyaan yang sering diajukan; Deskripsi Pakaian Adat Jawa Dalam Bahasa Jawa. Pertanyaan yang sering diajukan / Oleh Rina Laksmiwati / Juni 12, 2022 . 73 217 410 127 120 240 115 301

deskripsi blangkon dalam bahasa jawa